Denpasar-Bali. BARBARETO – Sertifikat ganda dalam kasus Bank Pembangunan Daerah (BPD) Bali dalam satu lokasi muncul tiga sertifikat di jalan Gadung Denpasar Timur mengundang pertanyaan. Kasus sengketa tanah seluas 3,85 are diklaim milik BPD Bali ini ternyata objek tanah tumpang tindih.
Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Himpunan Advokat/Pengacara Indonesia (HAPI) Provinsi Bali, I Wayan Adimawan S.H, M.H mengatakan, Putusan Tingkat Kasasi No.2234 K/PDT/2017 jo putusan Pengadilan Tinggi No 127/PDT/2016/PT Dps yang dipegang BPD Bali masih perlu penelitian secara mendalam secara eksaminasi publik.
Dimana menurut pengacara akrab disapa Tang Adimawan menyebutkan, bahwa eksaminasi publik merupakan pengujian terhadap putusan pengadilan demi penegakan hukum dan keadilan yang berdampak secara luas terhadap masyarakat. Ia menilai dalam kaitan ini patut diduga telah terjadi penyelundupan hukum perbuatan pidana dalam bidang agraria alias pertanahan.
Satu Bidang Tiga Sertifikat
Salah satu kejanggalan seperti SHM No 204 berlokasi di Desa Dangin Puri Kangin berada dalam satu bidang sama dengan SHGB No 12 berlokasi di Desa Sumerta Kauh dipegang BPD Bali. Dan anehnya lagi masih ada SHM No 171 berlokasi Desa Sumerta Kauh atas nama BPD Bali juga masih tercatat dalam bidang sama. Secara tidak langsung BPD Bali memegang 2 sertifikat, SHM No 171 dan SHGB No 12 dalam satu obyek sama.
“Sehingga dalil bahwa SHM No 171 dijadikan dasar terbitnya SHGB No 12 tumpang tindih dalam situs peta bidang tanah atr/bpn,” terang Tang Adimawan.
Berawal Dari SHM No 40 Tahun 1966
Menarik disikapi bawasan aset perusahaan BPD Bali atas nama direktur. Menurut keterangan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Denpasar, dikatakan sebelumnya direktur BPD Bali, almarhum IB Manuaba membeli tanah SHM No 40 atas nama I Gede Nyoman Alit.
“Jadi ini awalnya sertifikat HM (Hak Milik) dari tahun 1966, saat itu atas nama I Gede Nyoman Alit. Kemudian tanah ini dijual kepada Ida Bagus (IB) Astika Manuaba tahun 80′ (1980). Dari IB. Astika Manuaba ada pengalihan hak ke PT Bank Pembangunan Daerah Bali,” terang Ketut Semara Putra selaku Plt Kasubag Tata Usaha BPN Denpasar.
Namum demikian, Ketut Semara Putra tidak dapat menjelaskan siapa dan dari mana asal I Gede Nyoman Alit. Dan ia juga tidak menjelaskan apa dasar pengalihan hak dari Astika Manuaba kepada BPD Bali tahun 1980.
“Kalau itu (siapa dan dari mana asal I Gede Nyoman Alit) saya belum tau, saya gak memeriksa sampai situ,” katanya.
Disinggung terkait kemungkinan ada kekeliruan BPN dalam kemunculan dua sertifikat, I Ketut Semara Putra berdalih bahwa sudah ada penguji yaitu pengadilan. Namun anehnya sisi lain diakui dalam permohonan sertifikat 204 tahun 1991 dipegang warga atas nama I Nyoman Wijaya warkahnya lengkap.
“Kita tidak tahu kemarin. Dalam pengajuan sertifikat nomor 204 berkasnya semua lengkap, warkahnya juga lengkap sehingga kita proses. Lengkap semua termasuk ada tanda tangan kepala desa. Ada pengumuman juga. Nah sekarang tiba-tiba bank BPD mengklaim dan melakukan gugatan silahkan di pengadilan,” paparnya.
Setelah di cek dalam daftar situs dipeta BPN, SHM Nomor 40 Desa Sumerta, terbit tanggal 28 Juni 1966, lokasinya muncul di depan SD Saraswati. Sebelah selatan dari lokasi tanah SHM 204 di jalan Gadung Denpasar.
SHM No 171 Berdasarkan SK Kanwil BPN Tahun 1996
Pelaksana Harian Kepala Bidang Pengendalian dan Penanganan Sengketa (Plh. Kabid PPS) Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (Kanwil BPN) Provinsi Bali, Eko Wijiati mengatakan akan selalu berkomitmen mencegah terjadinya praktik mafia pertanahan.
Hal tersebut diungkapkan saat diklarifikasi terkait munculnya kasus sertifikat ganda terhadap sebidang tanah diklaim milik Bank Pembangunan Daerah (BPD) Bali di Jalan Gadung Denpasar, pihaknya meminta data, mengaku akan mengecek terkait Nomor Surat Keputusan (SK) Kepala BPN Tahun 1996, belakangan disebut-sebut sebagai dasar terbitnya Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 171 milik BPD Bali.
“Nanti kita akan bantu cari SK-nya dulu. Saya minta waktu, nanti kalau ketemu saya jelaskan secara detail, langkah-langkah apa yang bisa dilakukan. Kirimi saya nomor SK-nya. Saya akan kejar ! ,” tegas Eko Wijiati.
Lebih lanjut dikatakan bahwa selama ini pihaknya mengaku tidak mengetahui ada persoalan terkait sertifikat ganda urusannya antara warga dengan BPD Bali.
“Kita juga dikejar target harus menyelesaikan persoalan. Tapi juga memang gak ada informasi. Makanya dari informasi ini saya akan masuk ke kantor kota (BPN Denpasar) untuk melakukan koordinasi mencari informasi lebih detail,” katanya.
Esensi Kabur, Penerbitan SHGB No 12 Mengacu SK Deputi Gubernur BI
Alas hak terbitnya HGB No.12 Desa Sumerta Kauh dipegang pihak PT. BPD Bali sebagaimana kutipan putusan No. 344/Pdt.G/2016/PN.Dps pada angka 2 halaman 22, bahwa tanah sengketa diperoleh penggugat dari pemberian hak berdasarkan Keputusan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi Bali tanggal 18 September 1996 No SK.74/HM/BPN/B/Dps/1996.
Berdasarkan atas pelepasan hak milik No 40 Desa Sumerta sebagaimana diuraikan dalam sertifikat tanggal 8 Juli 1980 nomor 1462/1980 atas nama Ida Bagus Astika Manuaba (telah meninggal dunia) yang dilakukan oleh Ida Ayu Putu Puspa tanggal 24 April 1996.
Berdasarkan atas Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 16/1997 tanggal 9 Desember 1997 Hak Milik Nomor 171 Desa Sumerta Kauh diubah menjadi Hak Guna Bangunan Nomor 12/Desa Sumerta Kauh dan nama pemegang hak berubah menjadi PT. Bank Pembangunan Daerah Bali berdasarkan Surat Keputusan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Nomor 6/26/KEP.DGS/2094 tanggal 19 Juli 2004.
Menurut Tang Adimawan, kalimat ini sangat bersayap dan mengaburkan esensi. Apakah benar lahirnya SHGB No12 Desa Sumerta Kauh berdasarkan surat Keputusan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia tanggal 19 Juli 2004.
“Kalau saya lihat, tidak ada satu pun dalam putusan pengadilan membuktikan surat keputusan dari instansi badan pertanahan bahwa berdasarkan permohonan perubahan SHM No. 171 Desa Sumerta Kauh menjadi SHGB NO.12 Desa Sumerta Kauh,” ungkapnya.
Faktanya surat keputusan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Nomor 6/26/KEP.DGS/2094 tanggal 19 Juli 2004 adalah bentuk perubahan badan hukum perusahaan dari Bank Pembangunan Daerah Bali menjadi Perseroan Terbatas Bank Pembangunan Daerah Bali.
Kepala Divisi Umum dan Kesekretariatan BPD Bali, IB Gede Ary Wijaya Guntur membantah bahwa BPD telah menyerobot lahan warga. Mengatakan putusan Mahkamah Agung (MA) No 2234 K/DPT/2017 menjadi dasar pihaknya memasang plang hak milik BPD Bali.
“Kami memiliki dasar hukum memasang plang itu, yakni putusan perkara kasasi perdata Mahkamah Agung (MA) tanggal 19 Oktober 2017,” ujarnya.
Ditanya apakah pihak BPD Bali telah melakukan uji keaslian kabar sertifikat ganda tanah ini ? Kepala Divisi Hukum BPD Bali, AA. Gede Bagus Purnawan mengatakan, telah melalui proses persidangan. Ia pun enggan merinci dasar keabsahan sertifikat dimiliki pihaknya.
“Ini kan sudah berproses di pengadilan sampai tingkat MA, jadi putusan MA itu yang jadi pegangan kami,” ujarnya.
Begitu pun dengan asal usul BPD Bali memiliki sertifikat tanah tersebut, Bagus Purnawan tidak dapat menjelaskan dari mana pemilik awal mendapatkannya dan apa dasar haknya.
Bagus Purnawan hanya menyatakan tanah tersebut ada tahun 1980 menjadi milik BPD Bali atas nama IB Astika Manuaba (Almarhum) asal Desa Kapal dikatakan merupakan selaku Direktur Utama BPD Bali. Pihaknya tidak dapat menjelaskan kronologis, beralasan pemilik awal dikatakan istrinya juga sudah meninggal.
Pelaporan Warga ke Polisi Dari Tahun 2015 Mengambang
Masih proses penyidikan, bisa disampaikan pihak kepolisian terkait pelaporan warga dari tahun 2015 hingga sekarang di Polresta Denpasar. Atas dugaan pemalsuan surat dan atau menyuruh memasukan keterangan palsu ke dalam akta otentik. Disinyalir dilakukan pihak Bank Pembangunan Daerah (BPD) Bali, pada tanah seluas 3.85 are di jalan Gadung Denpasar Timur.
“Masih proses penyidikan,” terang Kasat Reskrim Polresta Denpasar, Kompol I Dewa Putu Gede Anom Danuaja, SH, SIK, MH melalui pesan singkat Whatapp.
Sebelumnya keberadaan dari pelaporan bernomor LP/1538/XI/2015/BALI/RESTA DPS dibenarkan diterima Kasat Polresta Denpasar pekan lalu. Pihaknya juga mengaku sudah memanggil berapa saksi, baik dari pelapor dan juga dari pihak BPD Bali.
Sementara mengetahui keadaan ini dari media massa, Ketua Ombudsman Bali, Umar Ibnu Alkhatab meminta Satgas Mafia Tanah Kepolisian agar segera turun mengusut munculnya sertifikat ganda dalam kasus Bank Pembangunan Daerah (BPD) Bali pada lahan seluas 3,85 are di jalan Gadung Denpasar Timur.
Hal ini dimaksudkan, dengan munculnya tiga sertifikat dalam satu lokasi pada sengketa tanah BPD Bali, dikatakan sebagai contoh kasus wajib diselidiki.
“Ya, satgas bisa mengambil ini sebagai contoh kasus untuk diselidiki. Siapa tahu bisa merembet ke mana-mana. Ternyata tidak satu kasus ini, ada juga kasus disebelahnya. Dan ini gunung es, kan bisa begitu,” terang Ketua Ombudsman Bali, Umar Ibnu Alkhatab.
Perlu diketahui dalam pemberitaan sebelumnya, BPD Bali bermodal putusan Mahkamah Agung (MA) No.2234K/PDT/2017 mengklaim dan memasang plang sebagai pemilik hak atas lahan seluas 3,85 are di Jalan Gadung Denpasar Timur. Namun belakangan BPD Bali disebut-sebut warga telah keliru mengkasuskan tanah tersebut sampai ke tingkat kasasi.
I Kadek Mariata, selaku pihak ahli waris mengaku heran dan tidak habis pikir mengapa tanah keluarganya bisa digugat padahal tidak pernah menjual atau menjaminkan sertifikat ke pihak bank. Dan ia pun merasa hak miliknya telah diserobot secara semena-mena.
Merasa tanahnya diserobot, keluarga Kadek Mariata pada tahun 2015 melaporkan kasusnya ke Polresta Denpasar atas dugaan pemalsuan surat dan atau menyuruh memasukan keterangan palsu ke dalam akta otentik. Namun hingga kini dikatakan Kadek Mariata, hampir sudah 5 tahun belum ada kepastian kelanjutan atas pelaporan keluarganya dari polisi. Begitu pula pihak keluarganya tidak bisa memanfaatkan tanah yang disertakan sampai sekarang.