Perang Topat sebagai komoditas Pariwisata Budaya di Lingsar Kabupaten Lombok Barat
Oleh: Aulia Nur Afifah (Mahasiswi Institut Seni Budaya Indonesia Bandung Prodi Antropologi Budaya).
Jika kita berbicara tentang keindahan Pulau Lombok pasti tidak akan ada habisnya.
Pulau Lombok menyajikan banyak pesona pariwisata unggulan yang dikenal hingga mancanegara.
Salah satu komoditas pariwisata yang yang menawarkan berbagai atraksi kebudayaan yakni Tradisi perang topat.
Jika mendengar kata perang pasti kita akan selalu berpikir tentang keributan, bukan?.
Lain halnya dengan peperangan yang terjadi di Pura Lingsar.
Perang Topat tentunya sudah menjadi komoditas pariwisata yang berbasis kebudayaan di daerah Lingsar, Lombok Barat.
Jika kita mengira perang itu adalah sebuah permusuhan, tetapi perang yang ini justru memiliki makna sebagai perdamaian.
Kok bisa sih? Simak terus kelanjutan dari tulisan ini yaa sobat.
Perang selalu diidentikkan oleh sebuah agresi, gencatan senjata, pertarungan, kekerasan kesengsaraan.
Namun terdapat sebuah budaya dalam masyarakat etnis Sasak dan Hindu yang dikenal sebagai perang topat.
Minimnya informasi tentang perang topat ini menimbulkan stigma bahwa perang tidak menimbulkan hal positif selain kerusakan.
Perang yang ini justru melambangkan simbol kerukunan masyarakat di Pura dan Kemalik Lingsar.
Keunikan tradisi perang topat yang dilaksanakan di kompleks Pura Lingsar dilakukan dengan keyakinan yang berbeda oleh dua etnis yang berbeda pula, tetapi menjadi satu dalam tujuan.
Perang Topat terbentuk dari akulturasi dua agama (Hindu dan Islam, red) dan keyakinan yang berbeda tersebut tercermin dalam bentuk kerukunan antar umat beragama.
Dua agama dan keyakinan hidup berdampingan dalam satu lokasi yang sama serta berintegrasi di dalam sebuah tradisi tertentu sebagai bentuk kesepahaman dan kesepakatan antar kedua belah pihak, sehingga menjadi panutan dan filosofi hidup mereka sehari-hari untuk tidak saling mencampuri dan mengintervensi urusan masing-masing (Marjan & Hariati, 2018).
Tradisi perang topat ini dilakukan dengan cara melemparkan topat antara entis Hindu dan Islam, tetapi tidak menutup kemungkinan seluruh wisatawan yang hadir dapat mengikutinya.
Pelaksanaan puncak acara ada pada waktu sore hari yang dilakukan setelah sholat ashar atau dalam bahasa sasak “rarak kembang waru” (gugur bunga waru, red) cara orang sasak dahulu untuk mengetahui waktu sholat ashar.
Etnis Islam dan etnis Hindu yang terdapat dalam Pure Lingsar dan kemaliq memegang teguh filosofi “bersatu tapi tidak menyatu, berpisah tapi tidak terpisahkan”.
Bapak Soeparman selaku pemimpin ketua adat kemaliq Lingsar mengatakan bahwa kalimat filosofi tersebut mencerminkan bahwa unsur budaya dalam Pure Lingsar baik umat Islam dan Hindu masih dapat menyatu tetapi agama yang dianut tidak bisa menyatu karena mereka memiliki keyakinan masing-masing.
Dengan demikian nilai toleransi yang terjalin dalam masyarakat mampu menjadi sarana integrasi antar masyarakat. Dengan demikian etnis Hindu dan Islam dalam Pura dan Kemalik Lingsar dapat hidup damai secara beriringan.
Jadi gimana nih sob?. Menarik bukan tulisan mengenai perang topat?.
Tradisi yang seperti ini patut untuk dilestarikan karena memiliki nilai-nilai moral yang penting untuk dijaga.
Kalau bukan kita lantas siapa lagi?.
Baca berita lainnya di Google News