BARBARETO – Dana aspirasi atau pokok-pokok pikiran (pokir) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Lombok Timur menjadi salah satu isu yang hangat diperbincangkan publik, terutama berkaitan dengan fungsi dan hak budget DPRD.
Permasalahan yang diajukan, pertama, bagaimana kedudukan dana aspirasi DPRD dikaitkan dengan fungsi anggaran DPRD? Kedua, apakah dana aspirasi DPRD menjadi kebutuhan sebagai respon kewajiban DPRD dalam memenuhi aspirasi rakyat.
Perbincangan ini muncul karena adanya salah satu anggota DPRD mendapatkan dana pokir diluar kewajaran yaitu 10 milyar. Sedangkan anggota yang lain hanya mendapatkan 2,5 milyar.
Alasan yang dikemukakan oleh anggota dewan tersebut, antara lain karena kebijakan dana pokir dianggap sebagai wujud nyata dalam menindaklanjuti aspirasi dari daerah pemilihan (dapil) para anggota DPRD sekaligus mempercepat proses pembangunan dengan cara memotong rantai birokrasi, sehingga kebijakan ini akan dapat memulihkan kepercayaan publik pada DPRD.Â
Apalagi kebijakan ini sebenarnya telah dipraktikkan di badan anggaran dan beberapa komisi di DPRD khususnya yang berkaitan dengan infrastruktur, sehingga dana aspirasi DPRD dibuat dalam rangka memberikan keadilan dan mengurangi kecemburuan.
Selain itu, praktek dana aspirasi di beberapa negara yang dikenal dengan Constituency Develompment Fund (CDF) dianggap sukses dijalankan dalam rangka pemerataan pembangunan.
Sedangkan kelompok yang kontra, baik berasal dari kalangan anggota DPRD sendiri maupun masyarakat yang diwakili oleh kelompok lembaga swadaya masyarakat (LSM), dengan alasan kebijakan dana aspirasi tumpang tindih dengan program pemerintah, berpotensi menimbulkan kekacauan administrasi keuangan negara, tidak sejalan dengan asas, fungsi dan peran DPRD, tidak sesuai dengan prinsip keadilan dan pemerataan pembangunan, serta membahayakan demokrasi karena akan menguatkan oligarki partai politik, kolusi dan nepotisme.
Dasar Hukum
Peraturan yang secara detail dan implisit terkait dengan dana pokir ini memang belum ada. Namun dibeberapa Undang-undang dan peraturan lainnya hanya dijelaskan secara umum. Dan ini yang dijadikan dasar bagi anggota DPR dan DPRD untuk melaksanakan dana pokir.
Dalam UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) saat itu, tidak ada dasar hukum dana aspirasi DPR. Namun demikian, keinginan untuk memasukkan dana aspirasi masih ada, sehingga dalam UU No. 17 Tahun 2014 tentang MD3 (sebagai ganti UU No. 27 Tahun 2009), disepakati rumusan yang menegaskan keberadaan dana aspirasi DPR yang terdapat dalam pasal 180 hurup j.
Atas dasar hal itu, dibentuklah Peraturan DPR No. 4 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pengusulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan. Dalam peraturan ini, dana aspirasi atau dana pokir dapat diusulkan oleh perorangan anggota DPR maupun diusulkan secara bersama yang diintegrasikan ke dalam program pembangunan nasional dalam APBN dan APBD. Adapun usulan tersebut dapat berasal dari inisiatif sendiri, pemerintah daerah, atau aspirasi masyarakat di daerah pemilihan.
Setiap anggota DPR hanya mengusulkan dana aspirasi dari daerah pemilihannya. Program yang dapat menggunakan dana aspirasi harus memenuhi kriteria: (a) kegiatan fisik; (b) pembangunan, rehabilitasi, dan/atau perbaikan sarana dan prasarana; (c) hasil pelaksanaan Program yang berkaitan langsung dengan pelayanan kepada masyarakat; dan (d) penganggaran melalui dana alokasi khusus program pembangunan daerah pemilihan.
Adapun kegiatan fisik dapat ditujukan bagi: (a) kelompok masyarakat; (b) desa, desa adat, kelurahan, dan/atau yang disebut dengan nama lain; (c) lembaga pendidikan; (d) lembaga adat; (e) lembaga sosial; dan/atau (f) pemerintah daerah kabupaten/kota. Secara lebih konkret program dana aspirasi dapat berupa pembangunan, perbaikan atau peningkatan: (a) implementasi hasil riset dan teknologi terapan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat; (b) penyediaan air bersih; (c) sanitasi, termasuk mandi, cuci, kakus/jamban, dan sampah/limbah rumah tangga; (d) tempat ibadah serta sarana dan prasarana keagamaan; (e) kantor desa, desa adat, kelurahan, dan/atau yang disebut dengan nama lain; (f) sarana olahraga atau sarana kesenian; (g) perpustakaan atau taman bacaan umum; (h) panti sosial; (i) penyediaan sarana internet; (j) penyediaan penerangan jalan umum; (k) jalan atau jembatan desa, desa adat, kelurahan, dan/atau yang disebut dengan nama lain; (l) irigasi tersier; (m) pemakaman umum; (n) sarana dan prasarana pertanian/perikanan; (o) puskesmas, pondok bersalin desa, dan ambulan; (p) ruang kelas, sarana dan prasarana pendidikan, dan pesantren; (q) pasar rakyat atau pasar tradisional; (r) pengadaan benih, bibit, dan ternak; dan/atau (s) pembangunan fisik lainnya.
Kasus Lombok Timur
Yang menarik dari dana pokir untuk anggota DPRD di Lombok Timur adalah bukan masalah ada atau tidak adanya dana pokir tersebut. Namun, adanya kejanggalan yang cukup mencolok sekali. Yaitu adanya salah satu anggota DPRD yang mendapatkan dana yang cukup pantastis yaitu 300 persen lebih tinggi dari anggota yang lain.
Hal tersebut yang menjadi awal kekisruhan di kalangan masyarakat dan aktivis anggaran. Jika dilihat dari kondisi kebijakan fiscal daerah Lombok Timur, memang diperlukan perencanaan yang matang dalam mengatur belanja daerah. Baik dalam bentuk belanja langsung maupun belanja tidak langsung.
Dalam pelaksanaannya, kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal telah menyebabkan adanya ketergantungan daerah terhadap dana transfer dari pemerintah pusat. Dana transfer pemerintah pusat ini terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil (DBH) Pajak dan Sumber Daya Alam, dan Dana Otoritas Khusus.
Kementerian Keuangan (2019) menyatakan secara rata-rata nasional, ketergantungan fiskal daerah terhadap transfer pemerintah pusat sebesar 80,1 persen. Sementara itu kontribusi PAD hanya sekitar 12,87 persen. Inilah yang terjadi di Kabupaten Lombok Timur.
Kondisi keuangan Lombok timur masih sangat jauh dari kata ideal. Sehingga dibutuhkan strategi jitu dalam peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) maupun dalam hal belanja daerah. Selama ini dana pokir bagi anggota DPRD diambikan dari dana pandapatan asli daerah Lombok Timur. Selama ini PAD Lombok timur masih sangat rendah sekali yaitu berkisar antara 280 milyar sampai 320 milyar per tahunnya.
Kabupaten Lombok Timur dalam perolehan Pendapatan Asli Daerah sumber utamanya berasal dari pajak daerah, retribusi daerah, pendapatan asli daerah lain-lain yang sah. Adapun komponen pajak daerah dan retribusi daerah yaitu: pajak kendaraan bermotor, bea balik nama kendaraan bermotor, pajak bahan bakar kendaraan bermotor, pajak hotel dan restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak pengambilan dan pengelolaan bahan galian Golongan C, serta pajak pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan.
Untuk itu, dari pada kita meributkan dana pokir yang sangat sedikit itu, lebih baik mari kita tantang pihak legislative dan eksekutif untuk bekerja semaksimal mungkin dalam memanfaatkan potensi lokal kita untuk meningkatkan sumber-sumber pendapatan daerah baru bagi Lombok Timur.
Jika PAD kita meningkat, maka secara otomatis dana pokir bagi anggota DPRD akan meningkat. Dengan syarat untuk kepentingan masyarakat banyak dan untuk pembangunan yang berkelanjutan di Lombok Timur. Namun jangan sampai dana pokir yang sudah sedikit tersebut akan menimbulkan budaya negatif yaitu pork barrel politics.